Sarah Widyanti Kusuma (24), gadis yang pernah menjajaki dirinya di
kontes Indonesian idol ini saat ini menerbangkan pesawat jenis boeing.
Jam terbangnya pun tak tanggung- tanggung, sudah 2200 jam terbang ia
catat di angkasa.
Dara cantik kelahiran 3 Maret 1988 ini telah mengangkasa memimpin
pesawatnya sejak umur 21 tahun. Iapun tercatat sebagai pilot termuda di
maskapai Garuda Indonesia. Lalu apakah dengan tubuh mungil dan paras
cantiknya, Sarah sering mendapatkan cibiran? Justru tidak. Wanita cantik
ini ternyata memiliki sifat yang tomboy sejak kecil.
Sifat tomboi itu ternyata berlanjut ketika ia menjadi satu-satunya siswa
perempuan di Sekolah Tinggi Ilmu Penerbangan Curug (STPI). Di STPI,
Sarah harus tampil seperti ayam jago, julukan bagi anak laki-laki siswa
STPI.
Kini, Sarah kembali sekolah untuk persiapan pindah pesawat dari tipe
pesawat kecil, Boeing, ke tipe yang lebih mutakhir, Airbus. Setelah
tahapan dua bulan sekolah ini dilalui, Sarah akan menerbangkan Airbus ke
rute menuju Jepang, Korea, Australia, China, Belanda, Uni Emirat Arab,
dan Jeddah.
Biografi Pilot Cantik Termuda Indonesia
Percaya atau tidak, di usia 21 tahun ternyata gadis manis ini telah
menerbangkan pesawat jenis Boeing ! Dan kini pilot termuda di maskapai
Garuda Indonesia ini pun sudah berencana menerbangkan pesawat Airbus
yang lebih besar dan mutakhir. Saat ini Sarah Widyanti Kusuma telah
mengantongi 2.200 jam terbang. Menjumpai gadis kelahiran 3 Maret 1988
yang juga jebolan Indonesian Idol dan mantan SPG ini, seperti bukan
berhadapan dengan seorang pilot. Tubuhnya mungil dengan senyum yang
terus tersungging, sering kali membuat orang "tertipu". Meski sudah
memakai seragam pilot pun, penumpang selalu salah kira dan menduganya
sebagai pramugari.
Sarah takkan pernah lupa saat-saat menegangkan yang menentukan
kariernya. Saat melewati tes mental penerimaan siswa penerbang Sekolah
Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug. Pada awal 2007, Sarah menjadi
satu-satunya siswa wanita yang lolos dalam seleksi penerimaan calon
pilot di sekolah itu. Selama dua tahun dua bulan, ia belajar
mengemudikan pesawat. Dan begitu lulus tahun 2009, langsung menerima
pinangan sebagai pilot Garuda Indonesia. Kini, Sarah kembali sekolah untuk persiapan pindah pesawat dari tipe
pesawat kecil, Boeing, ke tipe yang lebih mutakhir, Airbus.
Setelah
tahapan dua bulan sekolah ini dilalui, Sarah akan menerbangkan Airbus ke
rute menuju Jepang, Korea, Australia, China, Belanda, Uni Emirat Arab,
dan Jeddah. "Pesawat Airbus canggih banget. Sampai sekarang saya masih
wow! Untuk utak-atiknya harus belajar ekstra, sama kayak nerbangin
komputer. Canggih banget," kata Sarah dengan mata berbinar.
Di sela kesibukan mempersiapkan diri menjadi pilot Airbus itulah, Sarah
menyediakan waktu untuk berbincang di rumahnya di Bintaro, Tangerang
Selatan. Saking lelahnya belajar, Sarah masih tertidur di sofa pojok
ruang tamu rumahnya ketika ibu dan adik-adiknya sudah bersiap
jalan-jalan di akhir pekan.
Matanya langsung berbinar ketika diajak
berbicara soal profesinya. ”Yang membuat bersemangat, pesawatnya canggih
dan kita yang mengoperasikan,” tambahnya.
Puteri sulung Nazaruddin dan Telis
Cahyati ini sama sekali tak menyangka kalau dirinya bisa menjadi satu
dari dua perempuan pilot pesawat Boeing di maskapai penerbangan Garuda
dan sebelumnya bekerja sebagai pramuniaga.
Sarah serasa bermimpi, bila dia kembali
melihat ke lembaran hidupnya di masa lalu. Keluarganya bukan orang
berada. Meski demikian, pendidikan menjadi perhatian utama dari orang
tuanya. Masih diingat dengan jelas oleh perempuan kelahiran Bandung, 3
Maret 1988 itu, bagaimana ayah-ibunya memasukkannya ke Sekolah Menengah
Pertama (SMP) swasta yang biayanya mahal. Mereka ingin putrinya mendapat
nilai akademis yang bagus, tetapi juga pengetahuan agama yang baik.
Tamat dari sana, Sarah minta masuk ke
sekolah negeri saja, karena ia tahu orang tuanya telah memaksakan diri
untuk itu. Ia sadar masih ada keempat adiknya yang mesti diperhatikan
juga. Rupanya keputusan Sarah untuk masuk ke sekolah negeri adalah
pilihan yang tepat, karena ternyata keadaan ekonomi keluarganya semakin
goyah. Perusahaan tempat ayahnya bekerja jatuh pailit. Uang tabungan
keluarga terpakai, hingga akhirnya ibunya membuka warung sembako agar
dapat memenuhi kebutuhan keluarga.
Jadi SPG
Singkat cerita, pada 2005 Sarah lulus
Sekolah Menengah Atas, Tangerang. Sadar benar akan kondisi keuangan
keluarga, ia sengaja mencari perguruan tinggi yang kelak memberinya
penghasilan besar, tapi juga ada beasiswa.
Ia
mendaftar ke Fakultas Kedokteran, tapi ternyata gagal. Sarah tak putus
asa, ia lalu mencari sekolah bersubsidi lainnya, yaitu Sekolah Tinggi
Penerbangan Indonesia (STPI) di Curug, Tangerang. Pendidikan disini
bersubsidi dari pemerintah. Ia jalan sendiri ke sana, mendaftar ke
jurusan Teknik Pesawat Udara, karena saat itu belum ada jurusan
penerbangan. Sayang, ia lagi-lagi tidak berhasil. Sempat orang tuanya
berniat menjual rumah saja untuk membiayai kuliahnya, tapi Sarah
menolak. Ia tak mau banyak orang mesti berkorban demi dia.
“Saya tak mau memaksakan kehendak, meski
ekonomi keluarga makin buruk. Ibu sampai harus mencari uang dengan
berdagang sembako di rumah,” kata Sarah yang ketika itu dengan ikhlas
menolong ibunya. Ia ke agen di pasar, menyusuri lorong-lorong yang becek
dan licin setiap hari untuk berbelanja kebutuhan warung kecil ibunya.
Ya, dari selisih harga itulah Ibunya mengumpulkan uang untuk biaya hidup
keluarga.
“Saya terus memikirkan cara bagaimana
bisa mendapatkan uang untuk kuliah tahun depan. Suatu hari Ibu
menunjukkan iklan lowongan jadi bintang iklan, model dan pemain
sinetron. Saya langsung setuju untuk ikut tes. Pikir saya, jadi model
pasti uangnya lumayan, dan bisa saya tabung untuk kuliah,” kenang Sarah.
Ditemani
ibunya, Sarah mendaftar dan ikut tes. Ternyata panggilan yang datang
bukan untuk pemotretan iklan, melainkan jadi pramuniaga atau sales promotion girl yang lebih kondang dibilang orang dengan singkatan SPG.
Semula ia ingin menolak tawaran itu, tapi demi mengumpulkan uang
kuliah, tawaran itu pun diterimanya. Pertama kali, ia menjadi SPG dari
sebuah perusahaan komputer lokal di Electronic City Lippo, Karawaci, Tanggerang. Perempuan tomboy yang
terbiasa memakai setelan celana panjang itu tahu-tahu mesti berdandan
luwes, memakai rok dan harus ramah menawarkan produk kepada calon
pembeli.
Tapi Sarah berusaha beradaptasi, dan
nyatanya ia mampu menjalani pekerjaan itu selama delapan bulan. Termasuk
juga menepis godaan yang datang dari pria iseng mengajaknya kenalan
hingga mengantarnya pulang. Maklum, jam kerja SPG di pusat perbelanjaan
baru pulang hingga pukul 12 malam. Sarah merasa takut sekali, tapi ia
menepisnya dengan doa. Pada ibunya, ia tak bercerita soal godaan-godaan
lelaki ini, karena ia khawatir ibunya cemas.
“Gaji SPG 1,1 juta rupiah per bulan, lalu bonus antara Rp300.000 hingga Rp500.000 kalau berhasil melampaui target.
Pendapatan yang terbilang pas-pasan, namun saya jalani dengan ikhlas,”
katanya. “Uang saya tabung dan saya bisa kuliah di UPI YAI,Fakultas
Fikom Jurusan Hubungan Masyarakat. Kuliah memerlukan biaya tidak
sedikit.Akhirnya, saya mengejar target tidak lagi menjadi SPG yang digaji bulanan, melainkan sebagai usher yang digaji per hari bisa mencapai Rp200.000-Rp400.000.”
Pendapatan yang lumayan besar, namun sayang pekerjaan itu paling lama
2-3 hari saja sekali pameran. Ia pun berburu terus lowongan kerja
sebagai usher dari berbagai produk seperti minyak wangi, busana dan sebagainya.
Memburu Pendidikan Gratis
Sarah sudah kuliah, tapi ia masih terus
memburu sekolah yang bersubsidi dari pemerintah. Ia mencoba lagi ke
STPI, dan ternyata pada 2006 ada jurusan penerbangan. Dari panitia ia
mendapat informasi kalau jurusan ini yang terbaik. Lulusannya akan
menjadi pilot. Sarah langsung mendaftar, lalu mengikuti serangkaian tes.
Dari ujian kemampuan akademik, wawancara hingga kesehatan. Khusus untuk
jurusan penerbangan, ia harus melalui serangkaian tes, termasuk membawa
pesawat terbang.
“Membawa
pesawat terbang? Saya bingung bukan kepalang. Seumur hidup saja, saya
tidak pernah naik pesawat, tahu-tahu disuruh mengemudikan kapal terbang.
Wah, nekat saja, tapi sekaligus terselip rasa bahagia, karena inilah
proses awal saya bisa membahagiakan orang tua,” tambah Sarah, lalu
tinggal di asrama selama seminggu. “Penguasaan teori dasar penerbangan 3
hari lamanya, lalu dilanjutkan dengan tes penerbangan. Pengalaman
membawa pesawat sendiri itu sungguh tak terlupakan dalam hidup saya.”
Pengumuman lulus tes bakat ternyata harus menunggu berbulan-bulan lamanya. Sarah tetap kuliah dan juga bekerja sebagai
usher.
Karena tes bakat bertepatan dengan ujian akhir semester di kampus UPI,
ia pun terpaksa mengulang beberapa mata kuliah yang tak lulus. Pada
akhir 2006 ketika ia sedang menengok neneknya di Bandung, datanglah
surat pemberitahuan lulus dari STPI.
“Saya
tak percaya ketika dibacakan isi surat itu ,bahwa saya dinyatakan lulus
dan bisa bersekolah di STPI. Berkali-kali saya minta dibacakan isi
surat itu, lalu berkali-kali pula saya cubit lengan saya untuk
memastikan, bahwa saya tidak sedang bermimpi. Ternyata benar, saya
lulus. Saya langsung bersimpuh, mengucap syukur pada-Nya. Rupanya selama
ini Tuhan punya rencana yang indah untuk saya.
Kuliah disana selama
setahun supaya saya bisa masuk ke jurusan penerbangan yang baru dibuka
pada tahun itu,” kenang Sarah. Tanggal 13 Januari 2007 Sarah resmi menjadi taruni STPI, satu-satunya perempuan dari 35 taruna yang diterima.
Pendidikan yang diterapkan semi militer,
disiplin tinggi dengan latihan fisik yang cukup berat dan melelahkan.
Tapi semua itu tak masalah bagi Sarah, karena ia bertekad besar untuk
memperbaiki hidup keluarga dan membahagiakan orang tua.
Pada bulan Maret, dua tahun kemudian
Sarah lulus kuliah, lalu langsung mendaftar ke maskapai ‘Garuda’. Disana
ia juga harus melalui serangkaian tes, lalu mengikuti pendidikan lagi
dan kemudian barulah Sarah resmi menjadi pilot.
Sebagai Pilot Rute Domestik
Januari
2010, merupakan hari bersejarah bagi Sarah. Hari itu untuk pertama
kalinya ia ditugaskan nembawa pesawat dengan rute domestik. “Tak
terbayangkan, saya duduk paling depan, di kokpit sebuah pesawat terbang
membawa penumpang sepesawat penuh. Saya ingin berteriak, bilang terima
kasih kepada Tuhan YME”, ujar Sarah, riang. Kini, profesi istimewa sebagai pilot telah menjadi bagian dari hidupnya. Tak disangkanya, ia yang semula menjadi SPG menawarkan
barang kepada orang-orang, kini menjadi seorang pilot. Profesi serius
yang membuat keluarganya bangga dan bersyukur. Sarah juga tak lupa akan
pesan ibunya agar terus beribadah dan bekerja sungguh-sungguh. Adik
Sarah juga terinspirasi, kelak ingin menjadi pilot.
Sarah Widyanti Kusuma sebuah inspirasi, bahwa cita-cita meraih
kehidupan yang lebih baik dapat terwujud dengan kerja keras, gigih,
restu orang tua dan doa kepada Sang Khalik. (1003).
(Dari berbagai sumber)